Dengan peralatan seadanya, puluhan grup band reggae, diantaranya Primitive, Babylonian, Local Ambience, Primitive, dan Ras Muhammad, tetap bersemangat memperdengarkan lagu-lagu yang terkenal “membebaskan” ini, untuk merayakan “64 tahun” kemerdekaan Indonesia. Penonton yang sudah terbawa lirik dan melodik lagu-lagu reggae, semakin berjingkrak-jingkrak, ketika sebuah band melantunkan lagu “gendjer-gendjer”, lagu yang identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terlarang itu. Bukan Cuma itu, lagu “Ke Selatan” ciptaan Yayak Kencrit pun begitu enak dilantungkan oleh band reggae ini, mengingatkan aku dengan Band “Modena City Rambler” ketika melantungkan Bella Ciao. Ratusan kaum muda dan penikmat reggae sengaja datang untuk menikmati acara ini. Salah satu band favorit yang ditunggu-tunggu mereka-mereka ini adalah Ras Muhammad, grup musik reggae yang baru saja menggebrak penggemar reggae Indonesia dengan “reggae hari ini”, “siempre”, “leaving Babylon”, dan lain-lain.
Gebrakan Musik Reggae
Ras Mumammad lahir bersamaan dengan periode kebangkitan musik reggae
Ras Muhammad bukan “new entry” dalam musik reggae ataupun gerakan rastafari. Selama 12 tahun bermukim di AS, telah memberikan begitu banyak kesempatan padanya untuk bersentuhan lansung dengan musik reggae, dan tekun mempelajari filosofi “rastafari”. Pengaruh dari “bermukim” di AS ini adalah warna musik Tribal Riddims dari Dancehall Reggae dalam warna musiknya. Akan tetapi, Ras Muhammad tidak begitu saja menerapkan
Ras Muhammad adalah pengagum berat pemikir revolusioner, seperti Karl Marx, Che Guevara, dan Soekarno. Hasrat “pergerakan” yang dimiliki Ras Mumamad di luapkan lewat lagunya yang berjudul “siempre”, sebuah lagu yang mengingatkan kita pada sosok pejuang revolusioer Kuba, Che Guevara. Syairnya yang mudah dicerna dan mengandung emosi “idealisme revolusioner” menggambarkan Ras Muhammad adalah seorang musisi yang “cerdas”. Lagu “siempre” sedikit menyelamatkan muka musik
Reggae dan Perjuangan Kebudayaan
Masyarakat
Seni tak bisa dipandang netral, tidak memihak, dan terpisah dengan realitas sekitar kita. Dalam masyarakat berkelas, seni dominan (mainstream) dikuasai oleh klas berkuasa, dan dijadikan sebagai senjata untuk menundukkan klas terhisap. Reggae sebagai musik pembebebasan, yang memiliki kontribusi banyak dalam perjuangan kemanusian, ataupun pembebasan nasional bangsa Jamaika. Reggae memang berbeda dengan rastafari, tapi keduanya dilahirkan oleh akar kebudayaan yang sama; Jamaika. Sikap anti penindasan reggae jelas dari peristilahan mereka tentang penguasa penindas, yang disebut sebagai
Ras Muhammad, Tony Q Rastafara, dan reggae-reggae lainnya yang sering mengusung protes politik dan kritik sosial, disadari atau tidak, telah masuk dalam pertempuran kebudayaan ini. Meskipun mereka tidak masuk secara lansung dalam arena politik dan menganjurkan perjuangan politik untuk perebutan kekuasaan, seperti yang dianjurkan oleh partai-partai kiri, akan tetapi mereka sedang berjuang menggusur budaya pasar dengan mengajarkan cinta, persaudaraan, dan egalitarianism; nilai-nilai baru yang sangat dibenci oleh penganjur globalisasi dan neoliberalisme.
Terlepas dari reggae yang anti politik, sebuah grup band yang mengusung reggae di Lampung, Red Flag, sedang mengobarkan perjuangan politik melawan system kapitalisme. Dengan slogan; “one soul, one struggle”, grup band yang digawangi oleh Dompak, aktifis JAKER (Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat), begitu konsisten mengangkat tema pembebasan dalam lagu-lagunya, termasuk “internasionale”, lagu kebanggan klas pekerja sedunia. Red Flag mempersembahkan kaset-kasetnya untuk pekerja dan kalangan terhisap, dan tak jarang mereka “manggung” di tengah-tengah
Ras Muhammad sendiri jelas bukan band “menyembah” profit seperti band-band anak muda pada umumnya. Ras Muhammad bahkan rela berkeringat-keringat dalam berbagai panggung gratis yang digelar oleh komunitas reggae ataupun kelompok pejuang demokrasi, seperti perayaan kemerdekaan, kebangkitan nasional, peringatan 14 tahun pembredelan Tempo, dan banyak lagi. Ini jelas bertentangan dengan logika neoliberal yang mengejar profit; mengejar penjualan CD/kaset, mengejar popularitas, dan seluruh aktifitas yang serba “komersil”.
Penulis adalah Anggota Sanggar Satu Bumi, Redaksi BERDIKARI Online, Pengurus Eksnas LMND
COMMENTS